SEJARAH
SINGKAT
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA
lahir sejak Awal bulan September 1953,
berdiri sejak Tanggal 22 Maret 1954
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA
lahir sejak Awal bulan September 1953,
berdiri sejak Tanggal 22 Maret 1954
SEJARAH SINGKAT
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI)
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat
GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi mahasiswa yang
berazaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:
1. GERAKAN MAHASISWA MARHAENIS, berpusat di
Jogjakarta
2. GERAKAN MAHASISWA MERDEKA, berpusat di
Surabaya
3. GERAKAN MAHASISWA DEMOKRAT INDONESIA,
berpusat di Jakarta.
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai
tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat
Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama
yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M.
Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan
di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan
untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah.
Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain,
dan ternyata mendapat sambutan positip.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan,
maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang
diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman
Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:
1. Setuju untuk melakukan fusi
2. Wadah bersama hasil peleburan tiga
organisasi bernama "Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia " (GMNI).
3. Azas organisasi adalah: MARHAENISME ajaran
Bung Karno.
4. Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di
Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan ini.
Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam
pertemuan ini antara lain:
1. Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:
- SLAMET DJAJAWIDJAJA
- SLAMET RAHARDJO
- HERUMAN
2. Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:
- WAHYU WIDODO
- SUBAGIO MASRUKIN
- SRI SUMANTRI MARTOSUWIGNYO
3. Dari
Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:
- S.M. HADIPRABOWO
- DJAWADI HADIPRADOKO
- SULOMO
Hasil kesepakatan tersebut,
akhirnya terwujud.Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954,
dilangsungkan KONGRES I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan
sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun
yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil
kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang ber-fusi, juga untuk menetapkan
personil pimpinan di tingkat pusat.
Sehubungan dengan banyak
persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua
tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES II GMNI di
Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal
organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi
cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.
Akibat dari perkembangan yang
kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II,
GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES III GMNI di Malang tahun 1959, yang
dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang
masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya,
baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitan dengan hasil Kongres
III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi
Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah berkenan ikut
memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul "Hilangkan
Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa !".
Untuk lebih memantapkan dinamika
kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun 1965 akan
diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal
terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa
G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni
Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini
telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi
Pengabdian Masyarakat.
Dampak peristiwa G30S/PKI bagi
GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan
pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut
melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah
hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI
mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana KONGRES V GMNI
di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan).
Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu
parah.
Namun demikian kondisi ini
tampaknya telah membangkitkan kesadaran kesadaran baru dikalangan warga GMNI,
yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai
1969, thema "Independensi GMNI" kembali menguasai lam pikiran para
aktivis khususnya yang berada di Jakarta dan Jogjakarta. Tuntutan Independensi
ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari
PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI
untuk kembali ke "Khittah" dan "Fitrah" nya yang sejati.
Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat
beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi
restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.
Setelah gejolak politik reda GMNI
kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya.
Dilaksanakan KONGRES VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok:
"Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi". Hal lain
yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Azas
Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan
model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.
Selain itu, Kongres VI mempunyai
arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam
keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan
cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan
konflik internal PNI/FM di masa lalu.
Mengingat persoalan konsolidasi
meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam KONGRES VII
GMNI di Medan tahun 1979. dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Azas
organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi
organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.
Titik cerah bagi GMNI yang mulai
bersinar di tahun 1979 ternyata tidak berlangsung lama. Intervensi kekuatan
diluar GMNI, yang memang menginginkan GMNI lemah, dengan berpadu bersama
'interest pribadi' segelintir oknum pimpinan GMNI, telah mengundang malapetaka
terhadap organisasi mahasiswa ini.
Kongres VIII GMNI yang sedianya
akan diselenggarakan di Jogjakarta mengalami kegagalan karena diprotes oleh
sejumlah cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan lain-lain),
karena tercium indikasi kecurangan untuk memenangkan aspirasi pihak luar dalam
Kongres VIII itu. tetapi usaha filtrasi dan perlemahan GMNI tetap berlangsung
sewaktu KONGRES VIII GMNI di Lembang-Bandung tahun 1982.
Hanya dengan pengawalan ketat
dari aparat negara Kongres VIII tersebut bisa berlangsung, dan dimenangkan oleh
segelintir oknum pimpinan GMNI tadi, namun dampaknya bagi organisasi sangat
besar sekali. Presidium
GMNI hasil Kongres VIII terpecah-belah, dan disusul perpecahan berangkai semua
cabang. Program Kaderisasi, regenerasi akhirnya macet total.
KONGRES IX GMNI di Samarinda
tahun 1985 gagal menampilkan wajah baru dalam struktur kepemimpinan GMNI,
disamping kegagalan dalam proses pembaharuan pemikiran seta operasioniil
program. Perpecahan ini akhirnya menjalar
ke berbagai struktur organisasi dan mencuat dalam KONGRES X GMNI di Salatiga
tahun 1989, yang diwarnai kericuhan fisik. Dampak dari kegagalan regenerasi dan
kaderisasi Kongres X akhirnya hanya menampilkan wajah lama dalam struktur
kepemimpinan GMNI.
Dan yang lebih menyedihkan lagi,
para oknum pimpinan GMNI di tingkat Pusat terjebak dengan kebiasaan saling
"pecat-memecat". Identitas sebagai organisasi perjuangan menjadi
luntur, sebab yang lebih menonjol justru perilaku sebagai "birokrat
GMNI". untuk mempertahankan status quo, dan sekaligus untuk melestarikan
budaya tadi, oknum-oknum pimpinan pusat mulai mengintrodusiir apa yang disebut
"Komunitas Baru GMNI" yang ditetapkan melalui deklarasi Jayagiri.
Inilah cobaan yang terberat dihadapi GMNI. Sebab organisasi ini tidak hanya
terperangkap dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat sesaat, tetapi
juga mulai mengalami erosi idealisme, serta kegersangan kreativitas dan
inovasi.
Secara nasional formal, kesadaran
untuk memperbaiki arah perjuangan tampaknya belum muncul. Pada KONGRES XI GMNI
di Malang tahun 1992, kejadian di Salatiga kembali terulang. Sementara
suara-suara cabang yang menuntut otonomi semakin nyaring dan meluas. Kondisi ini kemudian melahirkan
format baru dalam tata hubungan antar kader pejuang pemikir-pemikir pejuang
yakni: hubungan kejuangan yang bersifat personal-fungsional. Sebab hubungan
formal-institusional tidak efektif lagi. "Perlawanan"
cabang-cabang kembali dilakukan di KONGRES XII GMNI di Denpasar Bali tahun
1995, tetapi keberhasilan hanya pada tingkatan materi program. Dimana kemudian
dikenal dan dimunculkan kembali di AD/ART mengenai Azas perjuangan "Sosialis
Religius - Progressif Revolusioner" yang membuat banyak pihak
terkejut-kejut, tetapi 'kekalahan' terjadi pada pertempuran perebutan pimpinan
nasional yang kembali di-warnai oleh intervesi 'orang-orang lama' GMNI. Isu
money-politics sangat kental di forum Kongres XII ini.
Disaat cabang-cabang kembali
mulai menata diri, perpecahan kembali melanda Presidium hasil Kongres XII Bali,
saling boikot dan intrik menjadi makanan utama sehari hari di sekretariat pusat
GMNI Wisma Marinda. Pada saat itu cabang-cabang tidak ambil pusing dengan tetap
bergerak menguatkan garis ideologi yang mulai kurang tersentuh. Dimulai dengan
dialog dan pembongkaran wacana mengenai Marhaenisme di Jogja dan kemudian
dilanjutkan di Surabaya 14-17 Juli 1998. cabang-cabang semakin memantapkan
hubungan dengan tidak menghiraukan perpecahan yang terjadi di tingkat pusat. Ketika terjadi pergerakan massiv
mulai Mei 1998, cabang-cabang dapat 'berbicara banyak' di tingkat kota
masing-masing, tetapi tidak begitu halnya dengan GMNI di tingkat nasional.
Perubahan politik di tingkat nasional rupanya semakin 'tidak menyadarkan
pimpinan GMNI'. Perpecahan ini memuncak saat beberapa oknum pimpinan GMNI ikut
mendaftarkan diri menjadi calon legislatif PDI Perjuangan. Cabang-cabang
bereaksi keras dengan menarik dukungannya terhadap pimpinan nasional saat itu.
Kongres XIII GMNI yang sedianya
dilaksanakan di Kupang-NTT mendapatkan protes keras dari cabang-cabang karena
prosesnya yang tidak konstitusionil dan penuh rekayasa; termasuk perilaku
'saling membubarkan' efek dari perpecahan Presidium. Akhirnya Kongres tersebut
terselenggara dengan diboikot 19 cabang antara lain Medan, Bandung, Jogjakarta,
Solo, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Denpasar, Pontianak, Manado dll.
Perlawanan cabang-cabang atas
tegaknya konstitusi GMNI terus diusahakan, lewat pertemuan-pertemuan antar
Pimpinan Cabang di Malang, Surabaya, Jember, Semarang hingga Lokakarya Nasional
GMNI di Solo Januari 2000 yang menghasilkan draft pemikiran pembaharuan GMNI
untuk kembali ke azas Marhaenisme dan mencanangkan diselenggarakannya Kongres
Luar Biasa (KLB) GMNI untuk menjembatani segala perpecahan yang ada. KLB GMNI, Februari 2001, dipenuhi
nuansa / keinginan untuk pembaharuan oleh DPC-DPC. Semangat itu terakumulasi
lewat rekomendasi untuk "rekonsiliasi" dengan kelompok
"kupang". Pelan tapi pasti, semoga GMNI tetap jaya....!! Hubungan interpersonal antar
aktivis GMNI di cabang-cabang semakin erat dan muncul kerinduan kembali akan
"Nilai Dasar Perjuangan" yang selama ini ditinggalkan.
Sanggupkah GMNI meraih kembali momentum yang jaya
gemilang..?. Perjuangan kita bersama yang akan menjawabnya.(end)
AZAS
DAN DOKTRIN
PERJUANGAN GMNI
Azas
GmnI
AZAS MARHAENISME yaitu Sosio
Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Motto
Perjuangan GmnI
Motto perjuangan GMNI adalah
PEJUANG PEMIKIR-PEMIKIR PEJUANG Yang memiliki arti Pejuang Rakyat yang selalu
memikirkan perjuangan dan kelanjutan perjuangannya dan pemikir (intelektual)
yang selalu mengabdikan ilmunya untuk perjuangan rakyat sepenuhnya.
Pengertian Dasar GMNI
GMNI lahir dengan identitasnya yang hakiki sebagai Organisasi Kader dan
Organisasi Perjuangan yang berlandaskan ajaran Soekarno. Karena itu, dalam
aktivitasnya terdapat prinsip-prinsip perjuangan yang harus tetap melekat dalam
tubuh GMNI dan menjadi dasar perjuangan GMNI, yakni :
a). GMNI berjuang untuk rakyat,
b). GMNI berjuang bersama-sama rakyat.
1). Makna “Gerakan” Dalam nama GMNI
GMNI adalah organisasi Gerakan, yang dilakukan oleh sekelompok manusia
dengan status “Mahasiswa”, oleh karena itu GMNI disebut juga sebagai “Student
Movement”. Gerakan yang dimaksud adalah suatu upaya atau tindakan yang
dilakukan secara terencana dengan tujuan melakukan pembenahan/pembaharuan yang
meliputi semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya,
untuk mencapai tujuan perjuangan.
2). Makna “Mahasiswa” Dalam GMNI
GMNI sebagai organisasi mahasiswa sehingga yang dapat menjadi anggota
GMNI adalah mereka yang berstatus mahasiswa. Namun demikian, bahwa mahasiswa
yang menjadi anggota GMNI adalah mereka yang menyetujui tujuan dan cara
perjuangan GMNI.
3). Makna “Nasional Dalam GMNI
GMNI adalah organisasi yang berlingkup nasional. Artinya, bukan
organisasi kedaerahan, keagamaan, kesukuan, atau golongan yang bersifat
terbatas dan sempit. Makna nasional juga mengandung pengertian bahwa perjuangan
GMNI bersifat Kebangsaan/Nasionalisme
4). Makna “Indonesia” Dalam GMNIGMNI adalah organisasi yang berkedudukan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan oleh karenanya, GMNI bertugas dan bertanggung
jawab serta mengutamakan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
seluruh elemen pembentuknya terutama kaum Marhaen. “Indonesia” dalam GMNI juga
bermakna sebagai simbol identitas GMNI yang berangkat dari proses kebangsaan
Indonesia.
5). Makna “Huruf” pada Penulisan GMNI
Huruf “G” dan “I” pada GMNI dengan huruf besar, bahwa aspek Gerakan
Indonesia menjadi bagian yang ditonjolkan oleh GMNI.
Huruf “m” dan “n” pada GMNI dengan huruf kecil, dalam posisi sejajar
sama tinggi dengan huruf lainnya adalah identitas/sifat GMNI sebagai organisasi
mahasiswa yang berfaham kebangsaan (Sosio Nasionalisme), seperti yang diajarkan
oleh Bung Karno. Catatan : dalam hal surat menyurat singkatan Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia ditulis dalam huruf kapital, yakni GMNI.
6). GMNI sebagai Organisasi Perjuangan
Sebagai organisasi perjuangan, maka dalam setiap anggota GMNI melekat
jiwa, roh dan semangat sebagai pejuang. GMNI mengutamakan perjuangan yang
terorganisir, dan sebagai mahasiswa Marhaenis yang progresif dan revolusioner,
GMNI berjuang secara non kooperatif dengan memakai metode machtsvorming dan
machtsaweding.
7). GMNI sebagai Organisasi Kader
Sebagai organisasi kader, GMNI sekaligus sebagai organisasi massa,
artinya GMNI merupakan wadah pembinaan kader bangsa dan bertugas untuk
mempersiapkan kader yang berkualitas dan potensial untuk mengabdi pada bangsa
dan negara. Namun kualitas tersebut berkorelasi secara positif dengan kuantitas
kader.
8). Tujuan Perjuangan GMNI
Sebagai organisasi perjuangan maka tujuan perjuangan GMNI adalah
mewujudkan Indonesia yang berdaulat dibidang Politik, berdikari dibidang
Ekonomi dan berkepribadian dalam Budaya. Dan hal itu bisa dicapai apabila Sosio
Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Nation And
Character Building
9). GMNI Bersifat Independen
GMNI adalah organisasi yang bersifat independen dan berwatak
kerakyatan. Artinya, GMNI tidak berafiliasi pada kekuatan politik manapun, dan
berdaulat penuh dengan prinsip percaya pada kekuatan diri sendiri. Independensi
GMNI tidak berarti netral, sebab GMNI senantiasa proaktif dalam perjuangannya
sesuai dengan asas dan doktrin perjuangan yang dimiliki. Namun demikian, GMNI
tidak independen dari kaum marhaen dan kepentingan kaum marhaen
10). Asas dan doktrin perjuangan GMNI
Sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader, GMNI mempunyai asas
dan doktrin Perjuangan yang menjadi landasanserta penuntun arah perjuangan
GMNI. Adapun asas dan doktrin perjuangan GMNI adalah;
a. Pancasila 1 Juni 1945, yaitu;
1. Kebangsaan atau Nasionalisme
2. Kemanusiaan atau Internasionalisme
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
b. Pembukaan UUD 1945
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.”
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada
saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia
kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.”
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
satu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Penjelasan :
Pada pembukaan UUD 1945, beberapa hal yang perlu dipahami dan dimaknai
seluruh anggota GMNI adalah :
- Bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa atas dasar kemanusiaan dan
keadilan maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan.
- Bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang hakiki seperti
yang dicita-citakan para founding
father masih belum tercapai, sehingga revolusi belum selesai.
- Pemerintahan Negara Indonesia sebagai cara untuk mencapai cita-cita
perjuangan seperti tersarikan dalam preambule UUD’45 tersebut.
c. Marhaenisme, yaitu :
- Sosio Nasionalisme, yang
berarti GMNI berfaham nasionalisme, tapi nasionalisme yang memiliki watak
sosial, nasionalisme yang ditempatkan diatas nilai-nilai kemanusiaan.
-Sosio Demokrasi, bahwa
GMNI menghendaki demokrasi yang memiliki watak sosial artinya demokrasi politik, tapi juga demokrasi
ekonomi, bukan demokrasi cangkokan yang tidak sesuai
dengan akar sejarah dan budaya masyarakat Indonesia. Tapi demokrasi yang menyelamatkan seluruh kaum marhaen.
- Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa GMNI meyakini akan existensi Tuhan, anggota GMNI adalah manusia yang theis.
d. Pancalogi GMNI,
yang terdiri dari :
1. Ideologi ; artinya
perjuangan setiap anggota GMNI harus berlandaskan pada ideologi yang dianutnya, yakni Marhaenisme. Ideologi
merupakan acuan dasar pokok dalam perumusan format
dan pola operasional pergerakan.
2. Revolusi : artinya
perjuangan setiap anggota GMNI harus berorentasi pada perubahan nilai-nilai kemasyarakatan dan susunan masyarakat secara
revolusioner. Untuk mencapai tujuan perjuangan.
Revolusi bukan berarti pertumpahan darah, dengan cara kekerasan tetapi jauh lebih subtansi,
perubahan cara pandang, revolusi pikiran, perubahan secara mendasar.
3. Organisasi :
artinya perjuangan GMNI adalah perjuangan yang terorganisir yang dilakukan
secara sadar, sesuai
dengan ideologi GMNI.
4. Studi : artinya
sebagai organisasi mahasiswa maka titik berat perjuangan GMNI terletak pada aspek study dalam rangka
meningkatkan bobot intelektualitas, Amanat Penderitaan Rakyat harus menjadi focus pelaksanaan study.
5. Integrasi :
artinya perjuangan GMNI senantiasa tidak terlepas dari perjuangan rakyat
semesta. Setiap anggota GMNI harus
selalu mengambil posisi ditengah-tengah rakyat yang berjuang dan berjuang bersama-sama mereka.
ATRIBUT
ORGANISASI
GMNI
GMNI
Sebagai
satu organisasi GMNI mempunyai sejumlah Atribut Organisasi, yang berfungsi
sebagai:
1.
Alat
untuk membangkitkan semangat Korps dan sekaligus sebagai alat untuk
menggambarkan Nilai-Nilai Dasar yang terkandung dalam Doktrin Perjuangan GMNI.
2.
Sarana
untuk mengenalkan diri kepada pihak lain.
Atribut GMNI terdiri dari:
Panji/bendera GMNI, Lambang/Simbol
GMNI, Logo GMNI, Jaket
GMNI, Peci GMNI, Mars
GMNI, Hymne GMNI, Motto
GMNI
1.
Panji/bendera GMNI
Panji/Bendera GMNI
berbentuk empat persegi, dengan komposisi warna MERAH - PUTIH - MERAH, tegak
vertikal, perbandingan tiap warna masing-masing 1/3 (satu per tiga) dari
panjang Panji/Bendera.
Lebar Bendera 2/3
(dua per tiga) dari ukuran Panjang. Pada dasar Putih, terdapat lukisan lambang
GMNI (Bintang Merah beserta Kepala Banteng Hitam), serta dibawah bintang
tertulis logo GMNI.
(Khusus
Panji):
Panjang 100 cm,
Lebar 90 cm, pada tiap pinggir dilengkapi dengan rumbai berwarna Kuning Emas,
panjang rumbai 10 cm. Selain itu Panji dilengkapi dengan tongkat Panji dan Tali
hias warna Kuning. Panjang tongkat 2 meter dengan warna kayu asli.
Lebih lengkap
tentang fisik Panji/bendera lihat peraturan organisasi mengenai Panji/Bendera.
2.
Lambang/Simbol GMNI
Lambang GMNI
berbentuk Perisai bersudut enam, atau tiga sudut diatas, dan tiga sudut
dibagian bawah. Komposisi warna dua bidang Merah mengapit bidang Putih, tegak
vertikal. Di tengah perisai terdapat lukisan Bintang Merah dengan Kepala
Banteng Hitam sebagai pusat. Dibawah Bintang terdapat logo GMNI.
Makna yang
terkandung:
-
Tiga
Sudut atas Perisai melambangkan Marhaenisme
-
Tiga
Sudut bawah Perisai melambangkang Tri Dharma Perguruan Tinggi
-
Warna
Merah berarti Berani, warna Putih berarti suci. Makna komposisi: Keberanian
dalam menegakkan Kesucian.
-
Bintang
melambangkan ketinggian cita-cita, serta keluhuran budi.
-
Kepala
Banteng melambangkan Potensi rakyat Marhaen. Warna Hitam melambangkan keteguhan
pendirian dalam mengemban tugas perjuangan.
3.
Logo GMNI
Logo GMNI berbentuk
tulisan yang terdiri dari empat huruf yaitu huruf "G", "M",
"N", "I" dengan komposisi sebagai berikut:
-
Huruf
"G" yaitu kependekan dari kata "GERAKAN" ditulis dalam huruf
Kapital (huruf besar)
-
Huruf
"M" yaitu kependekan dari kata "MAHASISWA" ditulis dalam
huruf kecil.
-
Huruf
"N" yaitu kependekan dari kata "NASIONAL" ditulis dalam
huruf kecil.
-
Huruf
"I" yaitu kependekan dari kata "INDONESIA" ditulis dalam
huruf Kapital (huruf besar)
Penulisan tadi
mengandung makna bahwa, Aspek GERAKAN dan INDONESIA merupakan elemen pokok yang
harus ditonjolkan oleh organisasi GMNI, sementara aspek MAHASISWA dan NASIONAL
hanya menunjukkan predikat yang mempertegas keberadaan organisasi GMNI.
4. Jaket
GMNI
Jaket GMNI
berwarna MERAH DARAH, dengan model "Sukarno Look". Pada
kantong kiri depan terpasang Lambang GMNI, dan diatas kantong kanan
depan terpasang identitas lokasi. Kelengkapan lainnya seperti tanda jabatan,
dan lain-lain dipasang sesuai ketentuan organisasi.
5.
Peci GMNI
Peci GMNI berwarna
HITAM dengan Strip merah di tengahnya, tutup atas juga berwarna merah, pada
bagian depan sebelah kiri dipasang lencana (pin) GMNI.
6.
Mars GMNI
Mars GMNI adalah
modifikasi dari lagu "Marhaen Bersatu", dengan syair yang disesuaikan
dengan identitas GMNI. Syair lagu tersebut adalah sebagai berikut:
Mahasiswa Indonesia
Bersatulah Segera
Di dalam satu
barisan
anti kemiskinan
dalam satu barisan
serasa sama bahagia
Berjuang secara
dinamis
di dalam Front
Marhaenis
Reff.
Bersama buruh tani,
bersama GMNI
Abdi rakyat sejati
Bersatulah segera
Mahasiswa Indonesia
7.
Hymne GMNI
lagu dan lirik :
Eros Djarot
Kami pemuda
Indonesia, putra-putri sang fajar
Merah warna
darahku, putih warna tulangku
bersih jernih jiwa
kita
Kami mahasiswa
Indonesia, cinta rakyat merdeka
siap rela berkorban
sepenuh jiwa raga
demi nusa dan
bangsa
Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia
Pejuang Pemikir
yang tetap setia
Mengawal Pancasila
hingga akhir hayatnya
GMNI.., GMNI..,
Jaya...!
8.
Motto GMNI
Motto GMNI adalah
" PEJUANG PEMIKIR-PEMIKIR PEJUANG ",
HAK DAN
KEWAJIBAN ANGGOTA GMNI
1. Anggaran Dasar
BAB VI
KEANGGOTAAN
Pasal 6
(1)
Anggota GMNI adalah mahasiswa warga
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menerima dan menyetujui Azas, Tujuan, Sifat,
Motto, dan Usaha Organisasi serta memenuhi dan menerima syarat-syarat yang
telah ditetapkan.
(2)
Syarat-syarat yang dimaksud dalam
pasal 6 ayat (1) ditetapkan dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 7
HAK DAN KEWAJIBAN KEANGGOTAAN
(1)
Hak-hak anggota :
a.
Hak bicara dan hak suara
b.
Hak memilih dan dipilih
c.
Hak membela diri
d.
Hak mendapatkan perlindungan dari
organisasi
(2)
Kewajiban anggota :
a.
Mentaati Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga, Peraturan serta Disiplin organisasi.
Menjunjung tinggi nama dan
kehormatan organisasi, aktif melaksanakan program dan kegiatan organisasi.
2.
Anggaran
Rumah Tangga
Pasal 4
HAK-HAK ANGGOTA
(1)
Hak suara dan hak bicara dalam
rapat-rapat dan permusyawaratan organisasi selama tidak ada ketentuan lain yang mengatur hal tersebut.
(2)
Memilih dan dipilih dalam segala
jabatan organisasi selama tidak ada ketentuan lain yang mengatur hal tersebut.
(3)
Bertanya, mengeluarkan pendapat dan
mengajukan usul kepada pimpinan secara langsung, baik lisan maupun tertulis
berkaitan dengan kebijakan organisasi.
(4)
Melakukan pembelaan diri dalam
Kongres terhadap pemecatan sementara.
(5)
Mendapat perlidungan organisasi
sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kebijakan organisasi.
Pasal
5
KEWAJIBAN
ANGGOTA
(1)
Mentaati Anggaran Dasar (AD), Anggaran
Rumah Tangga (ART) ,
peraturan dan keputusan serta ketentuan lainnya
dalam organisasi.
(2)
Menjunjung tinggi kehormatan dan
nama baik organisasi.
(3)
Aktif melaksanakan tujuan, usaha dan
program-program organisasi tanpa terkecuali.
(4)
Membayar uang iuran anggota yang
besarnya ditetapkan melalui kebijaksanaan DPC.
Berikut
tata urutan peraturan organisasi disusun secara hierarki :
1.
Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
2.
Ketetapan Kongres
3.
Keputusan
Rapat Pimpinan
Nasional
4.
Peraturan
Dewan Pimpinan Pusat
5.
Keputusan
Dewan Pimpinan Pusat
6.
Intruksi
Dewan Pimpinan Pusat
7.
Ketetapan
Konferensi Daerah
8.
Ketetapan
Rapat Pimpinan Daerah
9.
Keputusan
Dewan Pimpinan Daerah
10. Ketetapan
Konferensi Cabang
11. Ketetapan
Rapat Pimpinan
Cabang
12. Keputusan Dewan Pimpinan Cabang
13. Ketatapan Musyawarah Komisariat
14. Keputusan Dewan
Pengurus Komisariat.
Demikian untuk dijewantahkan.
No comments:
Post a Comment